Sejarah Konflik Perbatasan antara Thailand dan Kamboja
Hubungan antara Thailand dan Kamboja telah diwarnai oleh konflik yang terus-menerus sejak beberapa dekade lalu. Kedua negara memiliki perbatasan yang panjang dan berhutan, serta beberapa wilayah yang saling diklaim. Hal ini sering memicu ketegangan, termasuk baku tembak pada tahun 2008 dan 2011 yang menewaskan puluhan orang.
Meski demikian, konflik tersebut biasanya mereda dalam waktu singkat. Pada Mei lalu, insiden yang menyebabkan kematian seorang tentara Kamboja juga tidak berlangsung lama. Kedua belah pihak tampaknya ingin menghindari kekerasan yang berlarut-larut. Hal ini ditandai dengan pertemuan antara komandan militer dari kedua negara untuk meredakan ketegangan.
Namun, pada 24 Juli, konflik kembali meletus. Otoritas Thailand melaporkan bahwa 11 warga sipil dan satu tentara tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara itu, Kamboja belum memberikan konfirmasi apakah ada korban jiwa di pihak mereka.
Penyebab Meningkatnya Ketegangan
Konflik ini dimulai setelah lima tentara Thailand terluka akibat ledakan ranjau darat pada 23 Juli. Namun, apa yang membuat situasi ini meningkat menjadi pertempuran besar?
Tanda-tanda keretakan hubungan antara dua negara mulai muncul bulan lalu. Saat itu, pemimpin senior Kamboja, Hun Sen, mempermalukan Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra dengan membocorkan percakapan telepon mereka tentang perbatasan yang disengketakan. Dalam percakapan tersebut, Paetongtarn memanggil Hun Sen dengan sebutan “paman” dan mengkritik salah satu komandan militer Thailand. Percakapan ini memicu kemarahan publik dan akhirnya menyebabkan Paetongtarn didiskors sebagai perdana menteri.
Pembocoran percakapan ini menunjukkan adanya ketegangan dalam hubungan antara dua dinasti politik yang selama ini sangat dekat. Banyak orang menyalahkan Paetongtarn atas percakapan tersebut. Ia tampaknya yakin dirinya dapat menyelesaikan perselisihan antara kedua negara dengan memanfaatkan persahabatan Hun Sen dengan ayahnya, mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra.
Hubungan yang Terjalin Selama Berpuluh Tahun
Persahabatan antara Hun Sen dan Thaksin cukup dekat. Namun, lawan-lawan politik Thaksin menuduhnya mendahulukan kepentingan Kamboja di atas kepentingan Thailand. Pada 2014, ketika pemerintahan Thailand pimpinan adik perempuan Thaksin, Yingluck, digulingkan melalui kudeta militer, Hun Sen mengizinkan sejumlah pendukung Yingluck untuk berlindung di Kamboja.
Kedua negara juga telah bekerja sama di bidang keamanan dan intelijen. Pada November lalu, Thailand memulangkan enam pengkritik pemerintah Kamboja bersama seorang anak kecil ke Kamboja. Di sana, mereka langsung dipenjara. Keenam orang itu diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengungsi.
Pada 2020, seorang aktivis muda Thailand yang melarikan diri ke Kamboja, Wanchalerm Satsaksit, diculik dan dihilangkan—diduga oleh agen-agen Thailand. Insiden penembakan seorang pemimpin oposisi Kamboja di pusat kota Bangkok di siang bolong pada Januari lalu juga dipandang oleh para aktivis sebagai hasil dari kesepahaman antara aparat kedua negara.
Perang Kata-Kata Menjadi Pertempuran
Mengingat dekatnya hubungan antara Hun Sen dan Thaksin, bocornya percakapan Paetongtarn tampaknya telah mengejutkan keluarga Shinawatra. Pernyataan Thaksin dan Paetongtarn menunjukkan bahwa mereka telah dikhianati. Hal ini memicu perang kata-kata yang semakin sengit antara kedua negara.
Namun, perselisihan ini lebih dari sekadar kata-kata. Kepolisian Thailand mulai menyelidiki tokoh-tokoh bisnis Kamboja yang diduga terkait dengan perjudian gelap dan pusat penipuan. Adapun perdagangan kedua negara senilai miliaran dolar per tahun telah terhenti.
Di perbatasan, risiko bentrokan yang lebih serius antara kedua militer semakin tinggi. Alih-alih mundur, Hun Sen dari Kamboja tampaknya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan serangan terhadap Thailand, khususnya keluarga Shinawatra.
Tidak Ada Pihak yang Ingin Mundur
Saat ini, kedua belah pihak tampaknya tidak mau mundur. Baik Thailand maupun Kamboja tidak memiliki pemimpin yang kuat dan percaya diri untuk berkompromi. Di pihak Kamboja, Perdana Menteri Hun Manet belum berpengalaman dan belum memiliki otoritas sendiri. Sementara ayahnya, Hun Sen, tampaknya bersedia memperkeruh konflik demi memoles kredibilitas nasionalisnya.
Di pihak Thailand, pemerintahan koalisi yang goyah dan berpusat di partai Thaksin menghadapi ekonomi stagnan dan terguncang akibat ancaman tarif hukuman AS. Karena itu, pemerintah Thailand tidak bisa terlihat lemah dalam menghadapi Kamboja.
Kamboja juga kewalahan menghadapi ekonomi yang tidak pernah sepenuhnya pulih dari pandemi. Sektor pariwisata—pilar utama ekonominya—terpukul setelah banyak wisatawan Tiongkok menjauh karena takut diculik dan dipaksa bekerja di pusat-pusat penipuan.
Namun, kedua negara sejatinya memiliki politisi berpengalaman seperti Hun Sen dan Thaksin yang hampir pasti bisa menemukan jalan keluar dari masalah ini. Kita juga harus melihat apakah anggota ASEAN lainnya turut berupaya membujuk kedua negara untuk meredakan ketegangan.
Mengapa Hun Sen Menghancurkan Persahabatan dengan Thaksin?
Yang masih menjadi misteri hingga saat ini adalah mengapa Hun Sen memutuskan untuk menghancurkan persahabatan dengan Thaksin dan justru mengobarkan konflik. Bisa saja aksi Hun Sen dilatarbelakangi keputusan Thailand menekan pusat-pusat penipuan tahun ini, atau ambisi Thaksin melegalkan perjudian yang mengancam industri kasino Kamboja.
Atau mungkin sesuatu yang lebih sederhana: Hun Sen ingin meninggalkan sekutunya, Thaksin, yang telah kehilangan banyak pengaruh di Thailand. Pada saat yang sama, ia ingin memoles kredibilitas nasionalisnya di mata rakyatnya sendiri.