Kembali Memanasnya Ketegangan Perbatasan Thailand dan Kamboja
Pada hari Kamis (24/7/2025), bentrokan bersenjata antara Thailand dan Kamboja kembali mengguncang wilayah perbatasan yang selama ini diliputi ketegangan. Pertempuran tersebut melibatkan tembakan, mortir, dan roket, sehingga menewaskan sedikitnya 15 orang di Thailand dan satu orang di Kamboja. Selain itu, puluhan ribu warga sipil terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat yang lebih aman.
Ketegangan antar kedua negara semakin memburuk setelah serangan udara Thailand terhadap wilayah Kamboja. Hal ini menambah kompleksitas hubungan bilateral yang sebelumnya sudah sangat tegang, terlebih karena keduanya merupakan anggota ASEAN.
Akar Konflik: Sengketa Wilayah yang Berlangsung Lama
Konflik yang terjadi saat ini bukanlah hal baru. Sejak lama, Thailand dan Kamboja terlibat dalam sengketa wilayah yang berasal dari peta kolonial Prancis tahun 1907. Kedua negara saling menuntut wilayah yang sama, dengan fokus utama pada Candi Preah Vihear, sebuah situs bersejarah yang telah ada selama lebih dari seribu tahun.
Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 memutuskan bahwa wilayah candi tersebut menjadi bagian dari Kamboja, ketegangan tetap berlanjut. Pada 2011, bentrokan bersenjata juga terjadi, menewaskan puluhan orang dan menyebabkan ribuan lainnya mengungsi.
Setelah insiden tembak-menembak Mei 2025 yang menewaskan satu tentara Kamboja, kedua negara sepakat untuk tidak menggunakan kekerasan lebih lanjut. Namun, ketegangan kembali memuncak setelah ledakan ranjau melukai beberapa tentara Thailand pada Juni lalu, memicu respons militer dari kedua belah pihak.
Dampak Ekonomi dan Ketegangan Politik Internal di Thailand
Tidak hanya berdampak pada keamanan, konflik ini juga membawa dampak ekonomi. Kamboja mengambil langkah tegas dengan melarang produk Thailand, termasuk film, bahan bakar, dan makanan, serta memutuskan beberapa hubungan internasional. Di sisi lain, Thailand menutup akses perbatasan dengan Kamboja, hanya memperbolehkan aktivitas lintas negara untuk kebutuhan medis dan pendidikan.
Langkah ini memengaruhi perekonomian kedua negara, mengingat ketergantungan besar dalam perdagangan dan mobilitas penduduk. Situasi ini juga memicu ketegangan di masyarakat kedua negara.
Di tengah konflik ini, ketegangan politik di Thailand semakin meningkat. Pada 1 Juli 2025, Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra diberhentikan sementara dari jabatannya untuk diperiksa terkait dugaan pelanggaran etika. Penyebabnya adalah bocornya percakapan telepon antara Paetongtarn dan tokoh politik Kamboja, Hun Sen, yang dianggap menghina kedaulatan Thailand.
Dalam percakapan tersebut, Paetongtarn disebut menyebut Hun Sen sebagai “paman” dan mengkritik pimpinan militer Thailand. Reaksi keras ini memperburuk situasi politik di Thailand, dengan partai Bhumjaithai, sekutu terbesar, menarik dukungan dan menyebabkan runtuhnya koalisi pemerintahan. Akibatnya, Phumtham Wechayachai, mantan Menteri Pertahanan, diangkat sebagai Perdana Menteri sementara.
Tantangan Hukum dan Diplomasi
Sengketa ini kini berlanjut ke ranah hukum internasional. Kamboja kembali mengajukan permohonan ke ICJ untuk menyelesaikan sengketa perbatasan. Namun, Thailand menolak yurisdiksi pengadilan tersebut, yang membuat jalan menuju penyelesaian damai semakin sulit.
Perdebatan tentang keabsahan peta yang digunakan dalam memetakan perbatasan antara kedua negara kembali menjadi isu penting. Selain itu, ketegangan ini semakin dalam mengakar dalam hubungan diplomatik, yang berdampak pada stabilitas politik dan ekonomi regional.
Konflik perbatasan Thailand dan Kamboja bukan hanya masalah teritorial, tetapi juga mencerminkan ketegangan politik yang kompleks. Dengan keterlibatan faktor internasional, nasionalisme yang meningkat, serta dampak ekonomi yang merugikan masyarakat, jalan menuju penyelesaian tampaknya masih panjang. Upaya diplomasi dan mediasi internasional akan sangat dibutuhkan untuk meredakan ketegangan yang terus meluas di kawasan ini.